Sahabat berbagi informasi

KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, atas rahmat dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul Akhlak mulya merupakan syarat mutlak bagi kesuksesan belajar muslim”.
            Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Biologi Tahun Pelajaran 2011/2012.
            Segala petunjuk, arahan, dan bantuan dari berbagai pihak yang penulis terima dalam penyusunan laporan penelitian ini sangatlah besar artinya, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1.      Bapak Drs. H. Endang Syamsudin, selaku kepala SMAN I Rancah;
2.      Bapak Diding, S.Pd selaku wali kelas X 7;
3.      Bapak Nana, S.Pd salaku guru mata pelajaran Bimbingan Konseling;
4.      Bapak dan Ibu guru SMAN I Rancah;
5.      Rekan-rekan semua yang sudah memberikan banyak bantuan kepada penulis.

Semoga amal  kebaikan yang telah diberikan dengan penuh keikhlasan ini mendapat imbalan yang setimpal dari Allah S.W.T.
Penulis menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini sangat jauh dari kesempurnaan. Hal itu dikarenakan banyak kendala, dangkalnya pengetahuan dan kurangnya pengalaman yang penulis miliki. Karena itu saran dan sumbangsih pemikiran untuk perbaikan sangat penulis harapkan.
Namun demikian, mudah-mudahan laporan penelitian ini mamberikan manfaat, sehingga dapat menambah wawasan, pengetahuan dan meningkatkan kreatifitas dan aktifitas dalam belajar.



                                                   Rancah,   September 2011


                 
                                                  Penulis


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
A.    Kerangka Dasar Ajaran Islam............................................................................. 2
B.     Akhlak Mulia Menurut Islam............................................................................... 4
C.    Sumber Akhlak Mulia dalam Islam..................................................................... 6
D.    Ruang Lingkup Akhlak Mulia dalam Islam....................................................... 7

BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 12
A.    Kesimpulan............................................................................................................. 12
B.     Saran....................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 13

BAB I
PENDAHULUAN


            Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw. merupakan agama yang paling lengkap di antara agama-agama yang pernah diturunkan oleh Allah Swt. kepada umat manusia. Kelengkapan Islam ini dapat dilihat dari sumber utamanya, al-Quran, yang isinya mencakup keseluruhan isi wahyu Allah Swt. yang pernah diturunkan kepada para nabi sebelum Muhammad. Isi al-Quran juga mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusia, mulai dari aspek yang terkait dengan masalah aqidah (keyakinan), syariah (ibadah dan muamalah), dan akhlak (budi pekerti), hingga aspek-aspek yang terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Setiap orang Islam (Muslim) harus mendasari keislamannya dengan pengetahuan agama (Islam) yang memadai, minimal sebagai bekal untuk menjalankan fungsi kehadirannya di muka bumi ini, baik sebagai khalifatullah (khalifah Allah/QS. al-Baqarah (2): 30, QS. al-An’am (6): 165, QS. Yunus (10): 14, dan QS. Fathir (35): 35) maupun sebagai ‘abdullah (hamba Allah/QS. al-Dzariyat (51): 56, QS. al-Ra’du (13): 36, dan QS. al-Zumar (39): 11). Sebagai khalifah Allah, manusia harus memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai masalah keduniaan, sehingga ia dapat memfungsikannya secara maksimal. Allah menyerahkan kepemimpinan di dunia ini kepada manusia, sehingga manusialah yang bertanggung jawab untuk memakmurkan dunia ini. Sedang sebagai hamba Allah, manusia harus memiliki bekal ilmu agama untuk dapat mengabdikan dirinya kepada Allah dengan benar. Dengan ilmu agama inilah manusia dapat melakukan semua aktivitasnya atas nama ibadah kepada Allah, Sang Khaliq satu-satunya yang berhak disembah. Jika seorang Muslim dapat membekali dirinya dengan pengetahuan yang benar dan cukup, baik pengetahuan umum maupun pengetahuan agama, dan sekaligus dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, maka ia akan menjadi seorang Muslim yang kaffah (utuh). Dan inilah sebenarnya tuntutan yang diminta oleh Allah Swt. kepada setiap manusia yang beriman. Allah Swt. berfirman yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah (2): 208).
Untuk menjadi seorang Muslim yang paripurna (kaffah) seperti tuntutan ayat di atas, ada dua syarat mutlak yang harus dipenuhi, yakni memiliki ilmu yang cukup, terutama terkait dengan ilmu agama, dan yang kedua mengamalkan ajaran agama sesuai dengan ilmunya. Perpaduan ilmu dan amal inilah yang menjadi kunci sukses manusia hidup di dunia dalam menjadalankan dua peran utamanya sebagai khalifah Allah dan abdullah.




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kerangka Dasar Ajaran Islam
Untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara mendasar, maka setiap Muslim harus memahami dan mengamalkan dasar-dasar Islam. Dasar-dasar inilah yang kemudian oleh sebagian ulama disebut kerangka dasar ajaran Islam. Kerangka memiliki beberapa arti, di antaranya adalah garis besar dan rancangan (Tim Redaksi KBBI, 2001: 549). Kerangka dasar berarti garis besar atau rancangan yang sifatnya mendasar. Dengan demikian, kerangka dasar ajaran Islam maksudnya adalah garis besar atau rancangan ajaran Islam yang sifatnya mendasar, atau yang mendasari semua nilai dan konsep yang ada dalam ajaran Islam.
Kerangka dasar ajaran Islam sangat terkait erat dengan tujuan ajaran Islam. Secara umum tujuan pengajaran Islam atau Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah membina manusia agar mampu memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehari-hari sehingga menjadi insan Muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah Swt., dan berakhlak mulia. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kerangka dasar ajaran Islam juga meliputi tiga konsep kajian dasar, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Aqidah bertujuan untuk mengantarkan manusia sehingga beriman, syariah untuk mengantarkan manusia sehingga bertakwa kepada Allah Swt., dan akhlak mengantarkan manusia sehingga berbudi pekerti (berakhlak) mulia.
Bila dikembalikan pada konsep dasarnya, tiga kerangka dasar Islam di atas berasal dari tiga konsep dasar Islam, yaitu iman, islam, dan ihsan. Ketiga konsep dasar Islam ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan dari Umar Ibn Khaththab yang menceritakan dialog antara Malaikat Jibril dengan Nabi Saw. Jibril bertanya kepada Nabi tentang ketiga konsep dalam Islam, yaitu iman, islam, dan ihsan. Dari tiga konsep dasar ini para ulama mengembangkannya menjadi tiga konsep kajian. Konsep iman melahirkan konsep kajian aqidah; konsep islam melahirkan konsep kajian syariah; dan konsep ihsan melahirkan konsep kajian akhlak.
Aqidah merupakan asas tempat mendirikan seluruh bangunan (ajaran) Islam dan menjadi sangkutan semua ajaran dalam Islam. Aqidah juga merupakan sistem keyakinan Islam yang mendasari seluruh aktivitas umat Islam dalam kehidupannya. Aqidah atau sistem keyakinan Islam dibangun atas dasar enam keyakinan atau yang biasa disebut dengan rukun iman yang enam seperti ditegaskan oleh Nabi Saw. dalam hadits seperti di atas.
Syariah berarti semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum Muslim baik yang ditetapkan dengan al-Quran maupun Sunnah Rasul (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 131). Mahmud Syaltut mendefinisikan syariah sebagai aturan-aturan yang disyariatkan oleh Allah atau disyariatkan pokok-pokoknya agar manusia itu sendiri menggunakannya dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dan alam semesta, serta dengan kehidupan (Syaltut, 1966: 12). Syariah ini sangat terkait erat dengan aqidah sehingga tidak dapat dipisahkan. Kajian syariah tertumpu pada masalah aturan Allah dan Rasul-Nya atau masalah hukum. Aturan atau hukum ini mengatur manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya (hablun minallah) dan dalam berhubungan dengan sesamanya (hablun minannas). Kedua hubungan manusia inilah yang merupakan ruang lingkup dari syariah Islam. Hubungan yang pertama itu kemudian melahirkan satu konsep yang disebut ibadah, dan hubungan yang kedua melahirkan satu konsep yang disebut muamalah. Dengan demikian, jelaslah bahwa kajian syariah lebih tertumpu pada pengamalan konsep dasar Islam yang termuat dalam aqidah. Pengamalan inilah yang dalam al-Quran disebut dengan al-a’mal al-shalihah (amal-amal shalih).
Sedangkan akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih. Sedang al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran (Rahmat Djatnika, 1996: 27). Dari pengertian ini jelaslah bahwa kajian akhlak adalah tingkah laku manusia, atau tepatnya nilai dari tingkah lakunya, yang bisa bernilai baik (mulia) atau sebaliknya bernilai buruk (tercela). Yang dinilai di sini adalah tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan Tuhan, yakni dalam melakukan ibadah, dalam berhubungan dengan sesamanya, yakni dalam bermuamalah atau dalam melakukan hubungan sosial antar manusia, dalam berhubungan dengan makhluk hidup yang lain seperti binatang dan tumbuhan, serta dalam berhubungan dengan lingkungan atau benda-benda mati yang juga merupakan makhluk Tuhan. Secara singkat hubungan akhlak ini terbagi menjadi dua, yaitu akhlak kepad Khaliq (Allah Sang Pencipta) dan akhlak kepada makhluq (ciptaan-Nya).
Aqidah, syariah, dan akhlak mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Meskipun demikian, ketiganya dapat dibedakan satu sama lain. Aqidah sebagai konsep atau sistem keyakinan yang bermuatan elemen-elemen dasar iman, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Syariah sebagai konsep atau sistem hukum berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak sebagai sistem nilai etika menggambarkan arah dan tujuan yang hendak dicapai oleh agama. Oleh karena itu, ketiga kerangka dasar tersebut harus terintegrasi dan bersinergi dalam diri seorang Muslim. Integrasi ketiga komponen tersebut dalam ajaran Islam ibarat sebuah pohon, akarnya adalah aqidah, sementara batang, dahan, dan daunya adalah syariah, sedangkan buahnya adalah akhlak.
Muslim yang baik adalah orang yang memiliki aqidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk melaksanakan syariah yang hanya ditujukan kepada Allah sehingga tergambar akhlak yang mulia dalam dirinya. Atas dasar hubungan ini pula maka seorang yang melakukan suatu perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau iman, maka ia termasuk ke dalam kategori kafir. Seorang yang mengaku beriman, tetapi tidak mau melaksanakan syariah, maka ia disebut orang fasik. Sedangkan orang yang mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi tidak dilandasi aqidah atau iman yang lurus disebut orang munafik.
Demikianlah, ketiga konsep atau kerangka dasar Islam ini memiliki hubungan yang begitu erat dan tidak dapat dipisahkan. Al-Quran selalu menyebutkan ketiganya dalam waktu yang bersamaan. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai ayat al-Quran, seperti dalam QS. al-Nur (24): 55, QS. al-Tin (95): 6, dan dalam QS. al-‘Ashr (103): 3. Dalam tiga ayat al-Quran ini ketiga kerangka dasar Islam disebut secara bersamaan, namun dalam dua istilah saja, yakni iman dan amal shalih. Iman menunjukkan konsep aqidah, sedangkan amal shalih menunjukkan adanya konsep syariah dan akhlak.
B.  Akhlak Mulia menurut Islam
Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam yang memiliki kedudukan yang sangat penting, di samping dua kerangka dasar lainnya. Akhlak merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan aqidah dan syariah. Ibarat bangunan, akhlak merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya kuat. Jadi, tidak mungkin akhlak ini akan terwujud pada diri seseorang jika dia tidak memiliki aqidah dan syariah yang memadai.
Nabi Muhammad Saw. dalam salah satu sabdanya yang berbunyi: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia”. (HR. Ahmad) mengisyaratkan bahwa kehadirannya di muka bumi ini membawa misi pokok untuk menyempurnakan akhlak manusia yang mulia. Misi Nabi ini bukan misi yang sederhana, tetapi misi yang agung yang ternyata untuk merealisasikannya dibutuhkan waktu yang cukup lama, yakni lebih dari 22 tahun. Nabi melakukannya mulai dengan pembenahan aqidah masyarakat Arab, kurang lebih 13 tahun, lalu Nabi mengajak mereka untuk menerapkan syariah setelah aqidahnya mantap. Dengan kedua sarana inilah (aqidah dan syariah), Nabi dapat merealisasikan akhlak yang mulia di kalangan umat Islam pada waktu itu.
Mengkaji dan mendalami konsep akhlak bukanlah yang terpenting, tetapi merupakan sarana yang dapat mengantarkan pada pengamalan akhlak mulia seperti yang dipesankan oleh Nabi Saw. Dengan pemahaman yang jelas tentang konsep akhlak, kita akan memiliki pijakan dan pedoman untuk mengarahkan tingkah laku kita sehari-hari, sehingga kita memahami apakah yang kita lakukan benar atau tidak, termasuk akhlak mahmudah (mulia) atau akhlak madzmumah (tercela).
Dalam al-Quran ditemukan banyak sekali pokok keutamaan akhlak yang dapat digunakan untuk membedakan perilaku seorang Muslim, seperti perintah berbuat kebajikan (al-birr) (QS. al-Maidah (5): 2), menepati janji (al-wafa) (QS. al-Maidah (5): 1), sabar (QS. al-Baqarah (2): 45 dan 153, QS. al-Balad (90): 17, dan al-’Ashr (103: 3), jujur (QS. al-Baqarah (2): 177, QS. al-Taubah (9): 119, QS al-Ahzab (33): 23 al-Zumar (39): 33 al-Hujurat (49): 15), takut kepada Allah Swt. (QS. al-Baqarah (2): 189, 194, dan 278, QS. Ali Imran (3): 102, dan QS. al-Maidah (5): 135), bersedekah di jalan Allah, berbuat adil, dan pemaaf (QS. al-Baqarah (2): 177; QS. al-Mu’minun (23): 1–11; QS. al-Nur (24): 37; QS. al-Furqan (25): 35–37; QS. al-Fath (48): 39; dan QS. Ali ‘Imran (3): 134). Ayat-ayat ini merupakan ketentuan yang mewajibkan pada setiap orang Islam untuk melaksanakan nilai akhlak mulia dalam berbagai aktivitas kehidupannya.
Keharusan menjunjung tinggi akhlak mulia lebih dipertegas lagi oleh Nabi Saw. dengan pernyataan yang menghubungkan akhlak dengan kualitas kemauan, bobot amal, dan jaminan masuk sorga. Sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Amr: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik akhlaknya … (HR. al-Tirmidzi). Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling cinta kepadaku di antara kamu sekalian dan paling dekat tempat duduknya denganku di hari kiamat adalah yang terbaik akhlaknya di antara kamu sekalian …” (HR. al-Tirmidzi). Dijelaskan juga, ketika Nabi Saw. ditanya: “Apa yang terbanyak membawa orang masuk ke dalam sorga?” Nabi Saw. menjawab: “Takwa kepada Allah dan berakhlak baik.” (HR. al-Tirmidzi).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa akhlak Islam bukan hanya hasil pemikiran dan tidak berarti lepas dari realitas hidup, melainkan merupakan persoalan yang terkait dengan akal, ruh, hati, jiwa, realitas, dan tujuan yang digariskan oleh akhlaq qur’aniah (Ainain, 1980: 186). Dengan demikian akhlak mulia merupakan sistem perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam melalui nash al-Quran dan Hadits.
Namun demikian, kewajiban yang dibebankan kepada manusia bukanlah kewajiban yang tanpa makna dan keluar dari dasar fungsi penciptaan manusia. Al-Quran telah menjelaskan masalah kehidupan dengan penjelasan yang realistis, luas, dan juga telah menetapkan pandangan yang luas pada kebaikan manusia dan zatnya. Makna penjelasan itu bertujuan agar manusia terpelihara kemanusiaannya dengan senantiasa dididik akhlaknya, diperlakukan dengan pembinaan yang baik bagi hidupnya, serta dikembangkan perasaan kemanusiaan dan sumber kehalusan budinya.
Dalam kenyataan hidup memang ditemukan orang yang berakhlak mulia dan juga sebaliknya. Ini sesuai dengan fitrah dan hakikat sifat manusia yang bisa baik dan bisa buruk (khairun wa syarrun). Inilah yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,” (QS. al-Syams (91): 8). Manusia telah diberi potensi untuk bertauhid (QS. al-A’raf (7): 172 dan QS. al-Rum (30): 30), maka tabiat asalnya berarti baik, hanya saja manusia dapat jatuh pada keburukan karena memang diberi kebebasan memilih (QS. al-Taubah (9): 7–8 dan QS. al-Kahfi (18): 29).
Baik atau buruk bukan sesuatu yang mutlak diciptakan, melainkan manusia dapat memilih beberapa kemungkinan baik atau buruk. Namun walaupun manusia sudah terjatuh dalam keburukan, ia bisa bangkit pada kebaikan kembali dan bisa bertaubat dengan menghitung-hitung apa yang telah dipetik dari perbuatannya (Ainain, 1985: 104 ).
Kecenderungan manusia pada kebaikan terbukti dalam kesamaan konsep pokok akhlak pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan perilaku pada bentuk dan penerapan yang dibenarkan Islam merupkan hal yang ma’ruf (Shihab, 1996: 255). Tidak ada peradaban yang menganggap baik seperti tindak kebohongan, penindasan, keangkuhan, dan kekerasan. Sebaliknya tidak ada peradaban yang menolak keharusan menghormati kedua orang-tua, keadilan, kejujuran, pemaaf sebagai hal yang baik. Namun demikian, kebaikan yang hakiki tidak dapat diperoleh melalui pencarian manusia dengan akalnya saja. Kebaikan yang hakiki hanyalah diperoleh melalui wahyu dari Allah Swt. Karena Allah merupakan Dzat Yang Maha Benar dan pemilik segala kebenaran (QS. al-Baqarah (2): 147; QS. Ali ‘Imran (3): 60; QS. al-Nisa’ (4): 170; QS. Yunus (10): 94 dan 108; QS. Hud (11): 17; QS. al-Kahfi (18): 29; QS. al-Hajj (22); 54; dan QS. al-Sajdah (32): 3).
Dengan demikian, akhlak telah melekat dalam diri manusia secara fitriah. Dengan kemampuan fitriah ini ternyata manusia mampu membedakan batas kebaikan dan keburukan, dan mampu membedakan mana yang tidak bermanfaat dan mana yang tidak berbahaya (al-Bahi, 1975: 347).
C.  Sumber Akhlak Mulia dalam Islam
Sumber untuk menentukan akhlak dalam Islam, apakah termasuk akhlak yang baik atau akhlak yang tercela, sebagaimana keseluruhan ajaran Islam lainnya adalah al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Baik dan buruk dalam akhlak Islam ukurannya adalah baik dan buruk menurut kedua sumber itu, bukan baik dan buruk menurut ukuran manusia. Sebab jika ukurannya adalah manusia, maka baik dan buruk itu bisa berbeda-beda. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik, tetapi orang lain belum tentu menganggapnya baik. Begitu juga sebaliknya, seseorang menyebut sesuatu itu buruk, padahal yang lain bisa saja menyebutnya baik.
Kedua sumber ajaran Islam yang pokok itu (al-Quran dan Sunnah) diakui oleh semua umat Islam sebagai dalil naqli yang tinggal mentransfernya dari Allah Swt. dan Rasulullah Saw. Keduanya hingga sekarang masih terjaga keautentikannya, kecuali Sunnah Nabi yang memang dalam perkembangannya banyak ditemukan hadits-hadits yang ternyata tidak benar (dla’if/palsu). Melalui kedua sumber inilah kita dapat memahami bahwa sifat-sifat sabar, tawakkal, syukur, pemaaf, dan pemurah termasuk sifat-sifat yang baik dan mulia. Sebaliknya, kita juga memahami bahwa sifat-sifat syirik, kufur, nifaq, ujub,takabur, dan hasad merupakan sifat-sifat tercela. Jika kedua sumber itu tidak menegaskan mengenai nilai dari sifat-sifat tersebut, akal manusia mungkin akan memberikan nilai yang berbeda-beda.
Namun demikian, Islam tidak menafikan adanya standar lain selain al-Quran dan Sunnah untuk menentukan baik dan buruknya akhlak manusia. Standar lain yang dapat dijadikan untuk menentukan baik dan buruk adalah akal dan nurani manusia serta pandangan umum masyarakat.
Manusia dengan hati nuraninya dapat juga menentukan ukuran baik dan buruk, sebab Allah memberikan potensi dasar kepada manusia berupa tauhid (QS. al-A’raf (7): 172 dan QS. al-Rum (30): 30). Dengan fitrah tauhid itulah manusia akan mencintai kesucian dan cenderung kepada kebenaran. Hati nuraninya selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaran-ajaran Allah Swt. dan Rasul-Nya, karena kebenaran itu tidak akan dicapai kecuali dengan Allah Swt. sebagai sumber kebenaran mutlak. Namun demikian, harus diakui bahwa fitrah manusia tidak selalu dapat berfungsi dengan baik. Pendidikan dan pengalaman manusia dapat mempengaruhi eksistensi fitrah manusia itu (Yunahar Ilyas, 2004: 4). Nafsu yang ada pada manusia juga ikut mempengaruhi terwujudnya keinginan manusia yang menyimpang dari fitrah kesucian tersebut. Dengan pengaruh tersebut tidak sedikit fitrah manusia menjadi kotor dan tertutup sehingga tidak lagi dapat menentukan baik dan buruk dengan benar. Karena itulah ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan kepada hati nurani belaka, tetapi harus dikembalikan kepada wahyu yang terjamin kebenarannya.
Akal pikiran manusia juga sama kedudukannya seperti hati nurani di atas. Kebaikan atau keburukan yang diperoleh akal bersifat subjektif dan relatif. Karena itu, akal manusia tidak dapat menjamin ukuran baik dan buruknya akhlak manusia. Hal yang sama juga terjadi pada pandangan umum masyarakat. Yang terakhir ini juga bersifat relatif, bahkan nilainya paling rendah dibandingkan kedua standar sebelumnya. Hanya masyarakat yang memiliki kebiasaan (tradisi) yang baik yang dapat memberikan ukuran yang lebih terjamin.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ukuran baik dan buruknya akhlak manusia bisa diperoleh melalui berbagai sumber. Dari sekian banyak sumber yang ada, hanyalah sumber al-Quran dan Sunnah Nabi yang tidak diragukan kebenarannya. Sumber-sumber lain masih penuh dengan subjektivitas dan relativitas mengenai ukuran baik dan buruk akhlak manusia. Karena itulah ukuran utama akhlak Islam adalah al-Quran dan Sunnah. Dan inilah yang sebenarnya merupakan bagian pokok dari ajaran Islam. Apapun yang diperintahkan oleh Allah (dalam al-Quran) dan Rasulullah (dalam Sunnah) pasti bernilai baik untuk dilakukan, sebaliknya yang dilarang oleh al-Quran dan Sunnah pasti bernilai baik untuk ditinggalkan.
D.  Ruang Lingkup Akhlak Mulia dalam Islam
Secara umum akhlak Islam dibagi menjadi dua, yaitu akhlak mulia (al-akhlaq al-mahmudah/al-karimah) dan akhlak tercela (al-akhlaq al-madzmumah/al-qabihah). Akhlak mulia adalah yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, sedang akhlak tercela adalah akhlak yang harus kita jauhi dan jangan sampai kita praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dilihat dari ruang lingkupnya akhlak Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terhadap Khaliq (Allah Swt.) dan akhlak terhadap makhluq (selain Allah Swt.). Akhlak terhadap makhluk masih dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti akhlak terhadap sesama manusia, akhlak terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang), serta akhlak terhadap benda mati.
1. Akhlak terhadap Allah Swt.
Orang Islam yang memiliki aqidah yang benar dan kuat, berkewajiban untuk berakhlak baik kepada Allah Swt. dengan cara menjaga kemauan dengan meluruskan ubudiyah dengan dasar tauhid (QS. al-Ikhlash (112): 1–4; QS. al-Dzariyat (51): 56), menaati perintah Allah atau bertakwa (QS. Ali ‘Imran (3): 132), ikhlas dalam semua amal (QS. al-Bayyinah (98): 5), cinta kepada Allah (QS. al-Baqarah (2): 165), takut kepada Allah (QS. Fathir (35): 28), berdoa dan penuh harapan (raja’) kepada Allah Swt. (QS. al-Zumar (39): 53), berdzikir (QS. al-Ra’d (13): 28), bertawakal setelah memiliki kemauan dan ketetapan hati (QS. Ali ‘Imran (3): 159, QS. Hud (11): 123), bersyukur (QS. al-Baqarah (2): 152 dan QS. Ibrahim (14): 7), bertaubat serta istighfar bila berbuat kesalahan (QS. al-Nur (24): 31 dan QS. al-Tahrim (66): 8), rido atas semua ketetapan Allah (QS. al-Bayyinah (98): 8), dan berbaik sangka pada setiap ketentuan Allah (QS. Ali ‘Imran (3): 154).
2. Akhlak terhadap Sesama Manusia
Akhlak terhadap sesama manusia harus dimulai dari akhlak terhadap Rasulullah Saw., sebab Rasulullahlah yang paling berhak dicintai, baru dirinya sendiri. Di antara bentuk akhlak kepada Rasulullah adalah cinta kepada Rasulullah dan memuliakannya (QS. al-Taubah (9): 24), taat kepadanya (QS. al-Nisa’ (4): 59), serta mengucapkan shalawat dan salam kepadanya (QS. al-Ahzab (33): 56).
Untuk berakhlak kepada dirinya sendiri, manusia yang telah diciptakan dalam sibghah Allah Swt. dan dalam potensi fitriahnya berkewajiban menjaganya dengan cara memelihara kesucian lahir dan batin (QS. al-Taubah (9): 108), memelihara kerapihan (QS. al-A’raf (7): 31), tenang (QS. al-Furqan (25): 63), menambah pengetahuan sebagai modal amal (QS. al-Zumar (39): 9), membina disiplin diri (QS. al-Takatsur (102): 1-3), dan lain-lainnya.
Akhlak terhadap manusia yang terpenting lagi adalah akhlak dalam lingkungan keluarga. Akhlak terhadap keluarga dapat dilakukan misalnya dengan berbakti kepada kedua orang tua (QS. al-Isra’ (17): 23 dan QS. Luqman (31): 14-15), bergaul dengan ma’ruf (QS. al-Nisa’ (4): 19), memberi nafkah dengan sebaik mungkin (QS. al-Thalaq (65): 7), saling mendoakan (QS. al-Baqarah (2): 187), bertutur kata lemah lembut (QS. al-Isra’ (17): 23), dan lain sebagainya.
Setelah pembinaan akhlak dalam lingkungan keluarga, yang juga harus kita bina adalah akhlak terhadap tetangga. Membina hubungan baik dengan tetangga sangat penting, sebab tetangga adalah sahabat yang paling dekat. Bahkan dalam sabdanya Nabi Saw. menjelaskan: “Tidak henti-hentinya Jibril menyuruhku untuk berbuat baik pada tetangga, hingga aku merasa tetangga sudah seperti ahli waris” (HR. al-Bukhari). Bertolak dari hal ini Nabi Saw. memerinci hak tetangga sebagai berikut: “mendapat pinjaman jika perlu, mendapat pertolongan kalau minta, dikunjungi bila sakit, dibantu jika ada keperluan, jika jatuh miskin hendaknya dibantu, mendapat ucapan selamat jika mendapat kemenangan, dihibur jika susah, diantar jenazahnya jika meninggal dan tidak dibenarkan membangun rumah lebih tinggi tanpa seizinnya, jangan susahkan dengan bau masakannya, jika membeli buah hendaknya memberi atau jangan diperlihatkan jika tidak memberi” (HR. Abu Syaikh).
Setelah selesai membina hubungan dengan tetangga, tentu saja kita bisa memperluas pembinaan akhlak kita dengan orang-orang yang lebih umum dalam kapasitas kita masing-masing. Dalam pergaulan kita di masyarakat bisa saja kita menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan mereka, entah sebagai anggota biasa maupun sebagai pemimpin. Sebagai pemimpin, kita perlu menghiasi dengan akhlak yang mulia. Karena itu, pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat seperti berikut: beriman dan bertakwa, berilmu pengetahuan agar urusan ditangani secara profesional tidak salah urus (HR. al-Bukhari), memiliki keberanian dan kejujuran, lapang dada, penyantun (QS. Ali ‘Imran (3): 159), serta tekun dan sabar. Dari bekal sikap inilah pemimpin akan dapat melaksanakan tugas dengan cara mahmudah, yakni memelihara amanah dan adil (QS. al-Nisa’ (4): 58), melayani dan melindungi rakyat, seperti sabda Nabi: “Sebaik-baik pemimpin adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian” (HR. Muslim), dan bertanggung jawab serta membelajarkan rakyat, seperti sabda Nabi: “Hubunganku dengan kalian seperti bapak dengan anak di mana aku mengajari” (HR. Ibnu Majah). Sedangkan kewajiban rakyat adalah patuh (QS. al-Nisa’ (4): 59), memberi nashehat jika ada tanda-tanda penyimpangan, seperti sabda Nabi: “Jihad yang paling mulia adalah perkataan yang benar kepada penguasa yang zhalim” (HR. Abu Daud).
3. Akhlak terhadap Lingkungan
Lingkungan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, yakni binatang, tumbuhan, dan benda mati. Akhlak yang dikembangkan adalah cerminan dari tugas kekhalifahan di bumi, yakni untuk menjaga agar setiap proses pertumbuhan alam terus berjalan sesuai dengan fungsi ciptaan-Nya. Dalam al-Quran Surat al-An’am (6): 38 dijelaskan bahwa binatang melata dan burung-burung adalah seperti manusia yang menurut al-Qurtubi tidak boleh dianiaya (Shihab, 1998: 270). Al-Quran dengan tegas melarang berbuat kerusakan di muka bumi yang sudah diciptakan oleh Allah dengan baik (sistemik) (QS. al-A’raf (7): 56 dan 85). Dalam kondisi apa pun (di masa perang atau damai) kita dilarang merusak binatang dan tumbuhan kecuali terpaksa. Semua sudah diciptakan dan diatur sesuai dengan sunnatullahnya masing-masing dan disesuaikan dengan tujuan dan fungsi penciptaan (QS. al-Hasyr (59): 5).
E.  Hakikat Kemuliaan Akhlak Manusia dalam Islam
Dalam pandangan para humanis dan juga menurut kultur yang berkembang saat ini, setiap orang diklaim, karena ia manusia, mempunyai nilai alami kemuliaan, sekalipun misalnya pernah melakukan pembunuhan dan kejahatan. Berbeda halnya dengan Islam yang memandang adanya dua jenis kemuliaan, yaitu kemuliaan umum, yakni bahwa setiap manusia memiliki kemuliaan tanpa peduli dengan apa yang dilakukannya. Kemuliaan jenis ini adalah kemuliaan ciptaan manusia sebagai ahsani-taqwim (QS. al-Tin (95): 4). Manusia diberi kemuliaan dengan bekal akalnya yang bisa mengantarnya melebihi makhluk lain, termasuk malaikat. Allah dengan tegas menyatakan kemuliaan manusia dalam ayat-ayat al-Quran (di antaranya QS. al-Isra’ (17): 70). Jenis kemuliaan yang kedua adalah kemuliaan yang dicapai dan dijangkau dengan kehendak dan pilihan bebas manusia. Di sinilah manusia akan dinilai siapa yang paling baik dan berlomba-lomba untuk beramal kebajikan atau bertakwa (QS. al-Hujurat (49): 13). Dalam kemuliaan jenis ini manusia tidak semuanya sama. Bahkan jika seseorang tidak berusaha dan mengerjakan amal kebajikan bisa terjatuh derajatnya sedemikian rupa menjadi lebih rendah dari binatang (QS. al-A’raf (7): 179).
Kemuliaan seseorang dengan demikan akan sangat ditentukan oleh kerja kerasnya untuk senantiasa melaksanakan kebajikan dan juga ditentukan oleh kualitas amaliahnya. Dan dalam wilayah akhlak, kualitas tidak bisa hanya diukur dari bentuk dan wujud perilaku lahiriahnya saja. Prinsip akhlak Islam memang universal, tetapi dalam aplikasinya sangat fleksibel. Sebagai contoh, sifat terus terang adalah prinsip akhlak yang tidak dapat dipertengkarkan kebenaran dan kebaikannya, namun dalam kasus tertentu (yang membahayakan jiwa, hak milik, dan posisi seseorang) hal itu dapat diabaikan. Pengabaian sifat terus terang dengan perilaku lain yang menunjukan ketidakterusterangan tidak dapat langsung dikatakan si pelakunya tidak menjunjung kemuliaan akhlak, asal dalam menjalankannya ada alasan yang kuat bagi eksistensi kemanusiaan (Muslim Nurdin dkk., 1995: 211).
Menurut Misbah (1996: 146) ada tiga tolok ukur untuk menilai amal perbuatan manusia. Pertama, dapat dilihat dari efek yang terjadi pada perilaku berupa kesempurnaan rohani dan pikiran manusia. Jika suatu perbuatan hanya dilihat wujudnya dan tidak menyebabkan kesempurnaan kualitas ruhaniahnya, maka hal itu tidak bernilai bagi kebajikan manusia. Tubuh yang sehat akan bernilai bagi manusia jika digunakan untuk kemajuan rohani dan inteleknya, dan dianggap tidak bernilai jika disalahgunakan untuk menyakiti orang lain. Demikian pula sifat berani seseorang baru disebut mulia jika digunakan di jalan kesempurnaan spiritual dan intelektual manusia dan demi mendapatkan keridoan Allah Swt. Dengan demikian, kemuliaan akhlak seseorang akan sangat ditentukan oleh efek spiritual bagi pelakunya. Artinya, jika setelah orang itu menjalankan akhlak dan dalam menjalankannya didasari untuk mencari keridoan Allah Swt. serta didorong untuk meningkatkan kualitas spiritualnya, maka akhlaknya telah memenuhi kriteria ini. Dengan bahasa lain niat perilakunya harus benar-benar untuk mencari keridoan Allah Swt.
Kedua, pada tolok ukur yang kedua kunci dasarnya pada kedekatan dengan Allah Swt. (pencarian rido Allah Swt.). Kedekatan dimaksud adalah dalam pengertian penghormatan dan formalitas, yakni adanya kedekatan hubungan antara pelaku akhlak dengan Allah Swt., sehingga setiap orang itu memohon sesuatu kepada Allah Swt. akan dipenuhi, dan sebaliknya jika Allah Swt. memerintahkan sesuatu, dia pun memerhatikan dan melaksanakannya dengan senang hati. Oleh karena itu, kesempurnaan akhlak manusia jika diamalkan dapat mengarahkan pada pencapaian kedekatan dengan Allah Swt. yang dicapai dengan ikhtiar dan usaha.
Ketiga, kita mengetahui bahwa Allah Swt. bukanlah wujud fisik (material), sehingga kebenaran kedekatan kita kepada Allah Swt. adalah pada kedekatan batin dan intuitif dan pencapaian hubungan eksistensial dengan Dia. Dengan pertimbangan ini maka yang berperan utama dalam pendekatan manusia dengan Allah Swt. adalah kemampuan manusia untuk melihat dan menyaksikan Allah Swt. dengan hatinya. Hubungan sukarela yang ditegakkan antara hati manusia dengan Allah Swt. adalah dengan sarana perhatiannya kepada Allah Swt. Perhatian kepada Allah Swt. dalam hal ini adalah dengan dzikr qalbi. Bila perhatian dan mengingat Allah Swt. dijadikan sebagai sumber bagi perilaku, maka hal ini dinilai sebagai niat. Dengan demikian tolok ukur ketiga ini menekankan bahwa akhlak itu akan menjadi amal mulia jika dalam melaksanakannnya benar-benar mendorong orang tersebut lebih mengingat dan berdzikir kepada Allah Swt. Dorongan dzikir inilah yang kemudian akan menumbuhkan kekuatan rohani untuk menentukan arah tindakan perilaku dan memberi bobot nilai kualitas akhlak.
Kriteria kemuliaan akhlak yang merupakan cerminan dari prinsip ihsan juga dituntut untuk memenuhi konsep dasar yang tercermin dari makna ihsan. Ihsan sebagaimana telah dijelaskan dalam bab kerangka dasar ajaran Islam, mengandung dua ajaran/rukun yang menjadi pangkal kebaikan, yaitu muraqabah dan muhasabah. Arti sederhana muraqabah adalah senantiasa merasa mendapatkan pengawasan dari Allah Swt. Perasaaan ini muncul dari kedekatan dengan Allah Swt. yang dimanifestasikan dengan dzikir. Dengan kata lain seseorang akan dapat meningkatkan kualitas amalnya dengan menghadirkan Allah Swt. di dalam hatinya. Muhasabah adalah upaya seseorang untuk menghitung amalnya, apakah benar-benar telah memenuhi kriteria kemuliaan atau bahkan menyimpang dan sia-sia. Apakah amalnya untuk hari ini lebih baik dengan hari kemarin atau bahkan lebih jelek, sehingga ia rugi dan terjatuh dalam laknat Allah Swt. Dengan prinsip muhasabah maka perilaku seseorang, baik dan buruknya, ditentukan melalui kesesuain dengan kriteria amal kebaikan yang harus dihitung dan ditimbang secara terus menerus.

































BAB III
PENUTUP


A.     Kesimpulan
Akhlak terhadap sesama manusia harus dimulai dari akhlak terhadap Rasulullah Saw., sebab Rasulullahlah yang paling berhak dicintai, baru dirinya sendiri

B.     Saran
Jadilan seorang yang mempunyai akhlak mulia agar sukses di kemudian hari.
































DAFTAR PUSTAKA



Ainain, Ali Khalil Abu. 1985. Falsafah al-Tarbiyah fi al-Quran al-Karim. T.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabiy.
Al-Bahi, Sayid Fuad. 1975. Asas al-Nafsiyyah li al-Numuwwi min al-Thufulah wa al-Syuyuhah. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.
Al-Kutub al-Tis’ah. CD Hadits.
Al-Qur’am al-Karim.
Departemen Agama RI. 1984. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama RI.
Hamzah Ya’qub. 1988. Etika Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar). Bandung: CV Diponegoro. Cet. IV.
Majid Fakhry. 1996. Etika dalam Islam. Terj. oleh Zakiyuddin Baidhawi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Musa, Muhammad Yusuf. 1988. Islam Suatu Kajian Komprehensif. Terj. A. Malik Madany dan Hamim Ilyas. Jakarta: Rajawali Press.
Misbah, Muhammad Taqi. 1996. Monotheisme Tauhid sebagai Sistem Nilai Aqidah Islam. Jakarta: Lentera.
Muka Sa’id. 1986. Etika Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Muslim Nurdin. 1995. Moral & Kognisi Islam. Bandung: Alfabeta.
Rachmat Djatnika. 1996. Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia). Jakarta: Pustaka Panjimas.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Syaltut, Mahmud. 1966. Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah. Kairo: Dar al-Qalam. Cet. III.
—————. 1966. Min Taujihat al-Islam. Kairo: Dar al-Qalam.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. Pertama Edisi III.
Yunahar Ilyas. 2004. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: LPPI UMY. Cet. IV.

Categories:

Leave a Reply